https://static1.freebitco.in/banners/728x90-3.png

Sabtu, 06 Agustus 2016

Sejarah singkat barru


Kabupaten Barru dahulu sebelum terbentuk adalah sebuah kerajaan kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja, yaitu: Kerajaan Berru (Barru), Kerajaan Tanete, Kerajaan Soppeng Riaja dan Kerajaan Mallusetasi.


Pada masa pemerintahan Belanda dibentuk Pemerintahan Sipil Belanda di mana wilayah Kerajaan Barru, Tanete dan Soppeng Riaja dimasukkan dalam wilayah Onder Afdelling Barru yang bernaung dibawah Afdelling Parepare. Sebagai kepala Pemerintahan Onder Afdelling diangkat seorang control Belanda yang berkedudukan di Barru, sedangkan ketiga bekas kerajaan tersebut diberi status sebagai Self Bestuur (Pemerintahan Kerajaan Sendiri) yang mempunyai hak otonom untuk menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari baik terhadap eksekutif maupun dibidang yudikatif.

Pada masa awal kemerdekaan

Dari sejarahnya, sebelum menjadi daerah-daerah Swapraja pada permulaan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, keempat wilayah Swapraja ini merupakan 4 bekas Self bestuur di dalam Afdelling Parepare, yaitu:
  1. Bekas Self bestuur Mallusetasi yang daerahnya sekarang menjadi kecamatan Mallusetasi dengan Ibu Kota Palanro, adalah penggabungan bekas-bekas Kerajaan Lili dibawah kekuasan Kerajaan Ajattapareng yang oleh Belanda diakui sebagai Self bestuur, ialah Kerajaan Lili Bojo dan Lili Nepo.
  2. Bekas Self bestuur Soppeng Riaja yang merupakan penggabungan 4 Kerajaan Lili dibawah bekas Kerajaan Soppeng (Sekarang Kabupaten Soppeng) Sebagai Satu Self bestuur, ialah bekas Kerajaan Lili Siddo, Lili Kiru-Kiru, Lili Ajakkang dan Lili Balusu.
  3. Bekas Self bestuur Barru yang sekarang menjadi Kecamatan Barru dengan lbu Kotanya Sumpang Binangae yang sejak semula memang merupakan suatu bekas kerajaan kecil yang berdiri sendiri.
  4. Bekas Self bestuur Tanete dengan pusat pemerintahannya di Pancana, daerahnya sekarang menjadi 3 Kecamatan, masing-masing Kecamatan Tanete Rilau, Kecamatan Tanete Riaja dan Kecamatan Pujananting.

Perkembangan selanjutnya

Seiring dengan perjalanan waktu, maka pada tanggal 24 Februari 1960 merupakan tonggak sejarah yang menandai awal kelahiran Kabupaten Daerah Tingkat II Barru dengan ibukota Barru, berdasarkan Undang-Undang Nomor 229 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan. Kabupaten Barru terbagi dalam 7 Kecamatan yang memiliki 40 Desa dan 14 Kelurahan, berada ± 102 Km di sebelah Utara Kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan.
Sebelum dibentuk sebagai suatu Daerah Otonom berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959, pada tahun 1961 daerah ini terdiri dari 4 wilayah Swapraja di dalam kewedanaan Barru, Kabupaten Parepare lama, masing-masing Swapraja Barru, Swapraja Tanete, Swapraja Soppeng Riaja dan bekas Swapraja Mallusetasi. Ibukota Kabupaten Barru sekarang bertempat di bekas ibukota Kewedanaan Barru.

Pemerintahan

Daftar nama - nama Bupati yang pernah memimpin di Kabupaten Barru:
  1. Kapten TNI (Purn.) La Nakka (20 Februari 1960 - 1 Februari 1965)
  2. H. Muhammad Sewang (1965-1970)
  3. Andi Sukur (1970-1980)
  4. Drs.H.Andi Pamadengrukka Mappayompa (1990-1995)
  5. H. Andi Makkasau Razak (1990-2000)
  6. H. Andi Muhammad Rum (2000-2010)
  7. H. Andi Idris Syukur (2010-2015)

Pariwisata

Adapun pariwisata dari Kabupaten Barru adalah:

-Kecamatan Tanete Riaja

  1. Wato Mallopie
  2. Air Terjun Waesai
  3. Wae Nunge
  4. Lembah Harapan
  5. Celebes Canyon (Watu)

-Kecmatan Tanete Rilau

  1. Sungai Bottoe
  2. Pulau Puteanging
  3. Tanjung Butung
  4. Makam wae Tenri Leleang
  5. Makam Petta Pallaselasee
  6. Masjid Tua Lalabata
  7. Makam We Pancai Tana
  8. Makam Lamaddusila
  9. Makam Karaeng Lipukasi
  10. Pantai Pijar
  11. Sungai Pancana
  12. Salo Libbo
  13. Dermaga Polejiwa

-Kecamatan Barru

  1. Lajulo Indah
  2. Air Panas Kalompie
  3. Pantai Ujung Batu
  4. Taman Wisata Padongko
  5. Makam H.M. Fudail
  6. Monumen Garongkong
  7. Pantai Lembae

-Kecamatan Soppeng Riaja

  1. Pantai Awerange
  2. Monumen Paccekke
  3. Permandian manuba

-Kecamatan Mallusetasi

  1. Bujung Mattimboe
  2. Pulau Dutungeng
  3. Pulau Bakki
  4. Pulau Batu Kalasi
  5. Pantai Kupa
  6. Pantai Lapakaka
  7. Pantai Labuange
  8. Taman Laut Mallusetasi
  9. Komp. Makam Arung
  10. Komp. Makam Labongo

-Kecamatan Balusu

  1. Permandian Waempubbu
  2. Gua Togenra
  3. Pulau Pannikiang
  4. Saoraja Lapinceng
  5. Air Terjun To Magellie

-Kecamatan Pujananting

  1. -Air terjun gattareng
  2. -Bulo-bulo
  3. -punranga  pohon pinus

Lafran pane

Lafran Pane lahir di kampung Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, yang terletak di kaki gunung Sibual-Bual, 38 kilometer kearah utara dari Padang Sidempuan, Ibu kota kabupaten Tapanuli Selatan, dia merupakan tokoh pendiri organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang merupakan organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia. Sebenarnya Lafran Pane lahir di Padangsidempuan 5 Februari 1922. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI Lafran Pane mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923. Sebelum tamat dari STI Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948. Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam fakultas Hukum, ekonomi, sosial politik (HESP).


Profil dan Biografi Lafran Pane
Dalam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran termasuk dalam mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu tanggal 26 januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran pane menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia. Mengenai Lafran Pane Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan :
....Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya”.
Semasa di STI inilah Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (hari rabu pon, 14 Rabiul Awal 1366 H /5 Februari 1947 pukul 16.00). HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan “islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar. Pertama, Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi pondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun individu-individu yang pernah dikader di HMI.
Biografi Lafran Pane
Logo dan Semboyan HMI
Jika dinilai dari perspektif hari ini, pandangan nasionalistik rumusan tujuan tersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun jika dinilai dari standar tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa itu, tujuan nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan bahwa Islam dan Keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan. Dengan kata lain Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan sebaliknya. Dalam rangka mensosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaanya. Pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Jogjakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan Intelegensia seluruh Indonesia, Lafran Pane menulis sebuah artikel dalam pedoman lengkap kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan, 1949, hal 56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”.

Dalam tulisan tersebut Lafran membagi masyarakat islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu mereka yang mengamalkan ajaran islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati dan selamatan. Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama islam dipraktekan sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan). Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktekan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.

Lafran sendiri meyakini bahwa agama islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat dimanapun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.

Sebagai muslim dan warga Negara Republik Indonesia, Lafran juga menunjukan semangat nasionalismenya. Dalam kesempatan lain, pada pidato pengukuhan Lafran Pane sebagai Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), kamis 16 Juli 1970, Lafran menyebutkan bahwa Pancasila merupakan hal yang tidak bisa berubah. Pancasila harus dipertahankan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun ia juga tidak menolak beragam pandangan tentang pancasila, Lafran mengatakan dalam pidatonya:
....Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan interprestasi yang tegar mengenai pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah pancasila dengan waktu. Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda menunjukan kemampuan pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar (filsafat) Negara “. (hal.6)
Dari tulisan diatas nampak Lafran sangat terbuka terhadap beragam interpretasi terhadap pancasila, termasuk pada Islam. Islam bertumpu pada ajarannya memiliki semangat dan wawasan modern, baik dalam politik, ekonomi, hukum, demokrasi, moral, etika, sosial maupun egalitarianisme. Egalitarianisme ini adalah faktor yang paling fundamental dalam Islam, semua manusia sama tanpa membedakan warna kulit, ras, status sosial-ekonomi. Wajah islam yang seperti ini selazimnya dapat dibingkai dalam wadah keindonesiaan. Wawasan keislaman dalam wadah keindonesiaan akan sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat. Untuk kepentingan manusia kontemporer diseluruh jagat raya ini sebagai rahmatan lil alamin.
Biografi Lafran Pane
Lafran Pane
Setiap 25 Januari, sebuah organisasi bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) akan mengenang satu orang: Prof. Drs. H. Lafran Pane. Dia pemrakarsa berdirinya HMI, organisasi yang banyak melahirkan sumber daya manusia (SDM) terbaik di negeri ini, juga punya andil besar terhadap lahirnya proklamasi. Pada 25 Januari 1991, beliau meninggal dunia. Singkat kata, Lafran Pane Layak dijadikan tokoh nasional bahkan pahlawan nasional.

SEJARAH PECAHNYA HMI MPO DIPO


Fragmentasi didalam gerakan mahasiswa bukanlah hal yang mengejutkan karena gerakan mahasiswa memang bukan gerakan yang kohesif dan solid. Gerakan mahasiswa tidak berdiri di atas pondasi yang homogen sehingga rentan dengan kemungkinan terfragmentasi di antara mereka. Perbedaan cara pandang dan motivasi dapat membuat gerakan mahasiswa terseret arus konflik yang pada akhirnya akan menurunkan kekuatan mereka dalam mengahdapi Negara. Pada tahun 1970-an terdapat perbedaan pendapat diantara kalangan Hmi dalam menempatkan islam dan Negara. Sebagian kalangan menmpatkan islam dikedudukan yang paling tinggi, sehingga undang-undang Negara harus disesuaikan dengan ajaran agama islam. Pihak lain menganggap islam adalah bagian dari Negara karena Negara lebih superior.

-PENYEBAB PERPECAHAN
Pemerintahan soeharto pada era orba sangat mengutamakan politik keseragaman dan pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, semua kekuatan sosial dan politik diapaksa untuk mengubah dasarnya dengan Pancasila. Jika menolak dapat berakibat dibubarkan. Tahun 1985 pemerintah mengeluarkan kebijakan UU ormas yang mewajibkan semua ormas memakai asas tunggal Pancasila. Hmi-pun terkena dampaknya. Kongres XVI di kota Padang pada tahun 1986 menjadi saksi pengaruh Negara yang berlebihan untuk memaksakan asas tunggal. MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) Hmi menolak menurut mereka Isalam adalah satu-satunya ideologi yang mereka anut dan menurut pemerintah, berarti gerakan mahasiswa sudah melupakan karakteristik mendasar, yaitu oposan dan tidak pro status.-quo. Hmi akhirnya pecah menjadi dua, Hmi Pancasila menjadi Hmi yang resmi diakui Negara (tahun 1999 Hmi DIPO mengubah asas pancasial menjadi islam) dan Hmi Majelis Penyelamat Organisasi (Hmi MPO) yang tetap kukuh berasas Islam.
-PERBEDAAN HMI-MPO DAN HMI-DIPO
Hmi DIPO menilai MPO adalah pemberontak yang menyempal dari Hmi, sehingga keberadaannya tidak sah. Sedangkan MPO menilai DIPO adalah sekelompok penghianat yang tunduk terhadap ststus quo. DIPO dinilai jauh dari gerakan mahasiswa yang oposan dan menentang status quo. Hmi DIPO dinilai lebih moderat karena mau menggunakan taktik menerima asas tunggal, sedangkan MPO dinilai lebih fundamental dan tidak mau menyerah pada pemerintah yang tiran. Pilihan Hmi-MPO untuk berhadap-hadapan dengan rezim orba, mau tidak mau menempatkannya pada posisi pinggiran (peripheral) sebagai organisasi underground. Kendati demikian, hal tersebut lalu membentuk karakteristik gerakan Hmi-MPO yang cukup khas. Ada tiga kawasan strategis yang menjadi tipologi besar gerakan Hmi-MPO: pertama, gerakan moral politik yang terkonsentrasi di Jakarta. Kedua, gerakan berbasis moralitas islam-politik yang menonjolkan nilai-nilai usuliyah, tersentralisasi di Makassar dan sekitarnya.ketiga, gerakan intelektualisme yang berkembang dikawasan Yogyakarta. Sedangkan HMI DIPO membagi ‘spesialisasi’ gerakan tiap kadernya menjadi 3, yaitu politisi, intelektual dan dakwah.
Pada awal keberadaannya, Hmi-MPO tidak hanya sekedar menjadikan islam sebagai asasnya, tapi jiga implementasi nialai-nilai keislaman yang sangat kental pada kader-kader Hmi pada awalnya. Sehingga gerakan Hmi-MPO cenderung fundamentalis dan eksklusif. Selain itu, sikap radikal dan militansi kader menjadisebuah pembeda dengan kalangan organisatoris lainnya.Identitas lain yang terlihat dari HMI-MPO adalah tingkat intelektualitas yang dimiliki para kader-kadernya yang memperlihatkan bahwa budaya diskusi dan membaca sangat mendominasi kader-kadernya. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya wacana yang digulirkan oleh aktivis-aktivis HMI-MPO, seperti revolusisistemik dan gerakan tamaddun. Akan tetapi karena tidak mempunyai akses dalampemerintahan, maka wacana yang dimunculkan hanya sekedar wacana yang tiadapernah terealisasi.Di dalam pelatihan kader, HMI-MPO lebih menonjolkan aspek keislaman dan agak mengabaikan aspek politik/kebangsaan, Pancasila dan UUD Negara. HMI-MPO tidak banyak melakukan politik praktis dan lebih memilih melakukan kajian-kajian karena akses politik kader sangat kecil (terbatas). Status ‘ilegal’ membuat MPO banyak ditekan oleh pemerintah Orba. Usaha untuk menyatukan kedua HMI bukannya tidak dilakukan. Perbedaan AD/ART dan pola rekruitmen pada awalnya menjadi hambatan terjadinya persatuan 2 Hmi. Nilai dasar perjuangan (NDP) yang dijadikan landasan perkaderanHMI DIPO berbeda dengan Khittah Perjuangan yang dimiliki HMI MPO, NDP lebih menitikberatkan pada wacana Islam kebangsaan yang dipadukan dengan pemikiran teologi pembebasan (liberal). Sedangkan Khittah perjuangan menekankan pada wacana penafsiran islam sebagai pandangan hidup (world of view) yang diselaraskan dengan pemikiran kesadaran keberislaman (teosofi transenden).