Fragmentasi didalam gerakan mahasiswa bukanlah hal yang mengejutkan
karena gerakan mahasiswa memang bukan gerakan yang kohesif dan solid.
Gerakan mahasiswa tidak berdiri di atas pondasi yang homogen sehingga
rentan dengan kemungkinan terfragmentasi di antara mereka. Perbedaan
cara pandang dan motivasi dapat membuat gerakan mahasiswa terseret arus
konflik yang pada akhirnya akan menurunkan kekuatan mereka dalam
mengahdapi Negara. Pada tahun 1970-an terdapat perbedaan pendapat
diantara kalangan Hmi dalam menempatkan islam dan Negara. Sebagian
kalangan menmpatkan islam dikedudukan yang paling tinggi, sehingga
undang-undang Negara harus disesuaikan dengan ajaran agama islam. Pihak
lain menganggap islam adalah bagian dari Negara karena Negara lebih
superior.
-PENYEBAB PERPECAHAN
Pemerintahan soeharto pada era orba sangat mengutamakan politik keseragaman dan pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, semua kekuatan sosial dan politik diapaksa untuk mengubah dasarnya dengan Pancasila. Jika menolak dapat berakibat dibubarkan. Tahun 1985 pemerintah mengeluarkan kebijakan UU ormas yang mewajibkan semua ormas memakai asas tunggal Pancasila. Hmi-pun terkena dampaknya. Kongres XVI di kota Padang pada tahun 1986 menjadi saksi pengaruh Negara yang berlebihan untuk memaksakan asas tunggal. MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) Hmi menolak menurut mereka Isalam adalah satu-satunya ideologi yang mereka anut dan menurut pemerintah, berarti gerakan mahasiswa sudah melupakan karakteristik mendasar, yaitu oposan dan tidak pro status.-quo. Hmi akhirnya pecah menjadi dua, Hmi Pancasila menjadi Hmi yang resmi diakui Negara (tahun 1999 Hmi DIPO mengubah asas pancasial menjadi islam) dan Hmi Majelis Penyelamat Organisasi (Hmi MPO) yang tetap kukuh berasas Islam.
-PERBEDAAN HMI-MPO DAN HMI-DIPO
Hmi DIPO menilai MPO adalah pemberontak yang menyempal dari Hmi, sehingga keberadaannya tidak sah. Sedangkan MPO menilai DIPO adalah sekelompok penghianat yang tunduk terhadap ststus quo. DIPO dinilai jauh dari gerakan mahasiswa yang oposan dan menentang status quo. Hmi DIPO dinilai lebih moderat karena mau menggunakan taktik menerima asas tunggal, sedangkan MPO dinilai lebih fundamental dan tidak mau menyerah pada pemerintah yang tiran. Pilihan Hmi-MPO untuk berhadap-hadapan dengan rezim orba, mau tidak mau menempatkannya pada posisi pinggiran (peripheral) sebagai organisasi underground. Kendati demikian, hal tersebut lalu membentuk karakteristik gerakan Hmi-MPO yang cukup khas. Ada tiga kawasan strategis yang menjadi tipologi besar gerakan Hmi-MPO: pertama, gerakan moral politik yang terkonsentrasi di Jakarta. Kedua, gerakan berbasis moralitas islam-politik yang menonjolkan nilai-nilai usuliyah, tersentralisasi di Makassar dan sekitarnya.ketiga, gerakan intelektualisme yang berkembang dikawasan Yogyakarta. Sedangkan HMI DIPO membagi ‘spesialisasi’ gerakan tiap kadernya menjadi 3, yaitu politisi, intelektual dan dakwah.
Pada awal keberadaannya, Hmi-MPO tidak hanya sekedar menjadikan islam sebagai asasnya, tapi jiga implementasi nialai-nilai keislaman yang sangat kental pada kader-kader Hmi pada awalnya. Sehingga gerakan Hmi-MPO cenderung fundamentalis dan eksklusif. Selain itu, sikap radikal dan militansi kader menjadisebuah pembeda dengan kalangan organisatoris lainnya.Identitas lain yang terlihat dari HMI-MPO adalah tingkat intelektualitas yang dimiliki para kader-kadernya yang memperlihatkan bahwa budaya diskusi dan membaca sangat mendominasi kader-kadernya. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya wacana yang digulirkan oleh aktivis-aktivis HMI-MPO, seperti revolusisistemik dan gerakan tamaddun. Akan tetapi karena tidak mempunyai akses dalampemerintahan, maka wacana yang dimunculkan hanya sekedar wacana yang tiadapernah terealisasi.Di dalam pelatihan kader, HMI-MPO lebih menonjolkan aspek keislaman dan agak mengabaikan aspek politik/kebangsaan, Pancasila dan UUD Negara. HMI-MPO tidak banyak melakukan politik praktis dan lebih memilih melakukan kajian-kajian karena akses politik kader sangat kecil (terbatas). Status ‘ilegal’ membuat MPO banyak ditekan oleh pemerintah Orba. Usaha untuk menyatukan kedua HMI bukannya tidak dilakukan. Perbedaan AD/ART dan pola rekruitmen pada awalnya menjadi hambatan terjadinya persatuan 2 Hmi. Nilai dasar perjuangan (NDP) yang dijadikan landasan perkaderanHMI DIPO berbeda dengan Khittah Perjuangan yang dimiliki HMI MPO, NDP lebih menitikberatkan pada wacana Islam kebangsaan yang dipadukan dengan pemikiran teologi pembebasan (liberal). Sedangkan Khittah perjuangan menekankan pada wacana penafsiran islam sebagai pandangan hidup (world of view) yang diselaraskan dengan pemikiran kesadaran keberislaman (teosofi transenden).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar