https://static1.freebitco.in/banners/728x90-3.png
Jumat, 14 Desember 2018
PILEG 2019, IQBAL : Pilih Petarung Jangan Pilih Yang Sembunyi Kalau Di Demo dan Suka Ngusir Wartawan
Dalam Diskusi Evaluasi Kinerja DPRD Barru 2014-2019 di Sekretariat pemuda muslim barru (Btn Coppo Kec.Barru) selamat atas kinerjanya memperjuangkan diri sebagai wakil rakyat kata Iqbal Sekertaris Gerakan Pemuda Muslim Barru.
Selanjutnya april 2019 nanti kita akan melaksanakan pemilihan umum mulai tingkat daerah sampai pusat serta pilpres, kami menghimbau kepada masyarakat untuk memilih anggota legislatif yang merakyat dan petarung, jangan pilih yang suka sembunyi kalau di demo dan suka usir wartawan.
Kita harus budayakan nilai-nilai demokrasi, untuk apa memilih wakil rakyat yang cenderung hanya mementingkan diri sendiri, dan mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pihak legislatif sebut saja kasus mobil dewan yang tidak ada kesimpulannya hingga hari ini.
Kami juga menyampaikan kepada seluruh caleg untuk perbaiki ikhtiar, jangan banyak menebar sumpah, lebih baik perbanyak ibadah. Iqbal yang juga calon terkuat ketua Hmi Mpo cabang Barru ini sambil bercanda mengatakan, politisi itu tidak pernah percaya sama janjinya, bahkan mereka kaget jika ada masyarakat yang mempercayainya.
Memasuki zaman milenial,Sudah sepatutnya masyarakat menentukan pilihannya tanpa di landasi sikap pragmatis, wajib kita merdeka dalam menentukan pilihan, selanjutnya kita serahkan kepada pihak berkompeten untuk mengawalnya, tutup Iqbal. (Pers/Hmi3)
Kamis, 06 Desember 2018
LA GALIGO DALAM PUSARAN SEJARAH
La Galigo adalah epik terpanjang dunia. Ia wujud sebelum epik Mahabharata. Ia mengandungi sebahagian besar puisi ditulis dalam bahasa bugis lama. Epik ini mengisahkan tentang kisah Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau. La Galigo tidak boleh diterima sebagai teks sejarah kerana ia penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Walaubagaimanapun, ia tetap memberi gambaran kepada sejarahwan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke 14.
Isi kandungan
2 La Galigo di Sulawesi Tengah
3 La Galigo Di Sulawesi Tenggara
4 La Galigo Di Gorontalo
5 La Galigo Di Malaysia Dan Riau
6 Rujukan
7 Lihat juga
La Galigo di Sulawesi Tengah
La Galigo Di Sulawesi Tenggara
La Galigo Di Gorontalo
La Galigo Di Malaysia Dan Riau
Sebagai masyarakat barru kita harus berbangga karena naskah La Galigo di tulis oleh salah satu pejuang literasi Retna kencana colliq pujie, wanita asal Barru kerjaan Tanete.
Dikutip dari berbagai sumber.
Yakusa
Muh. Iqbal
INTELEKTUAL KOLEKTIF DALAM FALSAFAH SIRI' NA PACCE
SAMSURYADI AL BARRU KETUA HMI BADKO SULSELBAR 2018-2020 |
Siri' Na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila siri' na pacce tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat melebihi tingkah laku jauh dari keprimanusiaan, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian sosial. Mereka juga hanya ingin menang sendiri dan memperturutkan hawa nafsunya.
Istilah siri' na pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit untuk didefenisikan karena siri' na pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu.
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, siri' mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, siri' adalah sesuatu yang 'tabu' bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain, malu dalam kategori kurang faham, bisa juga di artikan luka karena tidak dalam posisi benar, maka rasa siri itu muncul. Siri' sangat erat hubungannya dengan pengetahuan, karena tanpa pengetahuan kita akan merasah kurang pintar, sehingga ada rasa malu untuk mengetahui sesuatu, sehingga tidak melahirkan siri' pada diri. Pada konteks ini siri' adalah menjunjung tinggi Intelektual.
Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan inil adalah salah satu konsep yang membuat suku Bugis-Makassar mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah dalam bahasa Indonesia "Ringan sama dijinjing berat sama dipikul" budaya ini lah yang di kategorikan kerja kolektif.
Dari aspek ontologi (wujud) budaya siri' na pacce mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pandangan islam dalam kerangka spiritualitas, dimana kekuatan jiwa dapat teraktualkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh. Inti budaya siri' na pacce mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, karena siri' na pacce merupakan jati diri dari orang-orang Bugis-Makassar.
Dengan adanya falsafah dan ideologi siri' na pacce maka keterikatan antar sesama dan kesetiakawanan menjadi lebih kuat, baik dengan sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep siri' na pacce bukan hanya dianut oleh kedua suku ini (Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan Sulawesi seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosakata dan penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memilikii kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama.
Berdasarkan jenisnya siri' terbagi atas 2 yaitu:
Siri' Nipakasiri'
Siri' Nipakasiri' terjadi apabila seseorang dihina atau diperlakukan diluar batas kewajaran. Maka ia atau keluarganya harus menegakkan siri'nya untuk mengembalikan kehormatan yang telah dirampas, jika tidak ia akan disebut "mate siri" atau mati harkat dan martabatnya sebagai manusia. Bagi orang Bugis dan Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi dari pada menjaga siri'nya, mereka lebih senang mati dari pada hidup tanpa siri'. Mati karena mempertahankan siri' disebut "mate nigollai..mate nisantangngi" yang berarti mati secara terhormat untuk mempertahankan harga diri.
Siri' Masiri'
Siri' masiri' yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sekuat tenaga dengan mengerahkan segala daya upaya demi siri' itu sendiri. Seperti sebuah penggalan syair sinrili' "Takunjunga' bangung turu'.. Nakugunciri' gulingku.. Kuallengi Tallanga Natoalia" yang berarti "Layarku telah kukembangkang.. kemudiku telah kupasang.. aku memilih tenggelam dari pada melangkah surut".
Semboyan tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad dan keberanian yang tinggi dalam mengarungi kehidupan ini.
Beradasarkan nilai-nilai yang terkandung budaya siri' na pacce terbagi atas 3 yaitu:
Nilai Filosofis.
Nilai Filosofis siri' na pacce adalah gambaran dari pandangan hidup orang-orang Bugis dan Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan yang meliputi watak orang Bugis Makassar yang reaktif, militan, optimis, konsisten, loyal, pemberani dan konstruktif.
Nilai Etis.
Pada nilai-nilai etis siri' na pacce terdapat nilai-nilai yang meliputi: teguh pendirian, setia, tahu diri, jujur, bijak, rendah hati, sopan, cinta dan empati.
Nilai Estetis
Nilai estetis dari siri' na pacce meliputi nilai estetis dalam non insani yang terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan benda alam hewani
Budaya siri' na pacce adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Untuk itu diperlukan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan karena pemuda adalah calon pemimpin dan pemiliki bangsa ini. Mereka harus memiliki siri' na pacce dalam diri mereka, dengan adanya budaya siri' na pacce anak pemuda bangsa ini akan menjadi lebih peka terhadap segala macam persoalan yang sedang melanda bangsa ini.
Seorang pemimpin yang memiliki budaya siri' na pacce dalam dirinya akan menjadi seorang pemimpin yang memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana dalam memimpin. Seorang pemimpin yang memegang prinsip ini akan membawa bangsa ini menuju kearah yang lebih baik, karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan, mampu mendengarkan aspirasi-aspirasi orang-orang yang mereka pimpin karena itu sejalan dengan konsep negara kita yaitu Demokrasi. Salam intelektual kolektif, dikutip dari berbagai sumber (Samsuryadi)
Selasa, 04 Desember 2018
MUHAMMADIYAH, AZAS TUNGGAL, LAHIRNYA HIDAYATULLAH, WAHDAH ISLAMIYAH, DAN DARUL ISTIQOMAH
Pada tahun 1963, ketika Ketua Muhammadiyah Sulsel dijabat oleh Haji Quraisy Djailani, Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara memutuskan membina Pendidikan Kader Ulama. Rencana semula Pendidikan Kader Ulama tersebut ditempatkan di Cabang Bantaeng dan Cabang Rappang. Panitia yang ditunjuk, yaitu Abdul Djabbar Ashiry sebagai Ketua, Haji Muhammad Arsyad Daud sebagai Sekretaris, Kiai Haji Ahmad Makkarausu Amansyah Daeng Ngilau, Haji Abdul Malik Ibrahim, dan Haji Muhammad Nawawi Yazid, masing-masing sebagai anggota. Namun, kendala kekurangan guru pembina dan dana, program tersebut akhirnya dipindahkan ke Makassar, dan ditempatkan di Perguruan Muhammadiyah Cabang Bontoala, di samping Masjid Raya Makassar.
Setelah berjalan beberapa tahun, Pendidikan Kader Ulama direncanakan dipindahkan ke lokasi baru, di Gombara-Bulurokeng, yang merupakan tanah hibah dari Bupati Maros kala itu. Namun, masalah dana dan pembina kembali menjadi kendala. Alhasil, pendidikan Kader Ulama tersebut tidak jadi dipindahkan sampai akhirnya terhenti dengan sendirinya, setelah menamatkan 27 orang ulama muda Muhammadiyah. Penyebab terhentinya pendidikan kader ulama tersebut adalah terjadinya apa yang dikenal dengan peristiwa “Penggajangan Lotto”. Lotto adalah nama salah satu bentuk perjudian di masa Walikota Makassar, Muhammad Daeng Patompo, pertengahan tahun 1960-an.
Sebagian peserta Pendidikan Kader Ulama Muhammadiyah yang berjumlah 27 orang, terlibat dan menjadi pelopor pengganyangan Lotto pada tahun 1968. Tindakan tersebut dianggap tindakan kriminal, mereka pun diburu dan ditangkapi. Ada yang berhasil dijebloskan ke dalam penjara, ada pula sempat meloloskan diri ke luar daerah.
Salah seorang yang berhasil melarikan diri adalah Mukhsin Kahar. Ia lari ke Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Di sana, ia mengganti nama menjadi Abdullah Said. Sebagai mubalig yang memiliki pengetahuan agama yang luas, dia disenangi masyarakat dan diterima pemerintah. Di Balikpapan, Abdullah Said berhasil mendirikan Pondok Pesantren Hidayatullah di atas tanah perbukitan yang gersang. Keberhasilannya menghijaukan lokasi Pesantren tersebut, mendapatkan penghargaan Kalpataru dari Presiden Soeharto. Setelah pesantren Hidayatullah berhasil membuka cabang di beberapa daerah, Mukhsin Kahar alias Abdullah Said mendirikan organisasi sosial keagamaan yang diberi nama Hidayatullah.
Meski ada pula peserta Pendidikan Kader Ulama yang tidak ikut dalam pengganyangan Lotto, namun mereka tak lagi melanjutkan pendidikannya. Akhirnya, tamatlah riwayat Pendidikan Kader Ulama yang didirikan, dipimpin, dan dibina oleh KH. Abdul Djabbar Ashiry.
Para Pembina lainnya, yakni: DR. S. Majidi, Kiai Haji Marzuki Hasan dan Kiai Haji Fathul Muin Daeng Maggading yang secara bersama-sama dengan Kiai Haji Abdul Djabbar Ashiry disebut “Imam Empat”, masing-masing membina pengajian atau pesantren di tempatnya. Dr. S. Majidi membina pengajian di rumahnya, dengan nama pangajian “Orang Baik-Baik”. Pada tahun 1970-an, atas permintaan dari kader-kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Dr. S. Majidi membuka lagi pengajian di Jalan Bandang, Samping Masjid Raya, yang pernah ditempati Pendidikan Kader Ulama yang sudah mati.
Pembina lainnya, Kiai Haji Fathul Muin Daeng Ma’gading, kembali fokus membina pengajiannya di Ta’mirul Masajid. Pengajiannya berlangsung hingga ia meninggal dunia pada tahun 1985. Murid-murid angkatan terakhir yang dibinanya sebelum wafat, itulah yang menjadi cikal bakal pendiri Wahdah Islamiyah. Menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Solo, Kiai Haji Fathul Muin Daeng Ma’gading mempermaklumkan kepada murid-murid dan masyarakat secara umum bahwa jika dalam muktamarnya, Muhammadiyah menerima asas tunggal yang diharuskan oleh pemerintah Orde Baru, maka dirinya keluar dari Persyarikatan Muhammadiyah. Beberapa hari sebelum pemberangkatan ke Muktamar, Kiai Haji Fathul Muin Daeng Ma’gading wafat. Muktamar Muhammadiyah pun memutuskan menerima Pancasila sebagai azas organisasinya. Setelah Fathul Muin wafat, dan Muhammadiyah berubah azas, murid-murid Fathul Muin Daeng Ma’gading mendirikan Yayasan Fathul Muin. Yayasan tersebut kegiatannya sama dengan Muhammadiyah, melakukan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, dan membina amal usaha. Yayasan inilah yang dikonversi menjadi organisasi sosial keagamaan Wahdah Islamiyah pada tahun 1998.
Tidak jauh beda dengan kolega “Imam Empat” lainnya, KH. Marzuki Hasan mendirikan pesantren “Darul Istiqamah”Maccopa Maros. Pesantren yang didirikannya itu juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Lokasi pesantrennya di Maccopa terus diperluas, dan saat ini sudah menjadi perkampungan yang dihuni oleh ribuan santri dan warga. Cabang-cabang pesantren ini pun telah pula berdiri di beberapa daerah, bahkan sampai di luar Sulawesi Selatan.***
*) Dikutip dari Buku “Menapak Jejak, Menata Langkah: Sejarah Gerakan dan Biografi Ketua-ketua Muhammadiyah Sulawesi Selatan”, diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah dan Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Sulsel.
Langganan:
Postingan (Atom)