Pada tahun 1963, ketika Ketua Muhammadiyah Sulsel dijabat oleh Haji Quraisy Djailani, Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara memutuskan membina Pendidikan Kader Ulama. Rencana semula Pendidikan Kader Ulama tersebut ditempatkan di Cabang Bantaeng dan Cabang Rappang. Panitia yang ditunjuk, yaitu Abdul Djabbar Ashiry sebagai Ketua, Haji Muhammad Arsyad Daud sebagai Sekretaris, Kiai Haji Ahmad Makkarausu Amansyah Daeng Ngilau, Haji Abdul Malik Ibrahim, dan Haji Muhammad Nawawi Yazid, masing-masing sebagai anggota. Namun, kendala kekurangan guru pembina dan dana, program tersebut akhirnya dipindahkan ke Makassar, dan ditempatkan di Perguruan Muhammadiyah Cabang Bontoala, di samping Masjid Raya Makassar.
Setelah berjalan beberapa tahun, Pendidikan Kader Ulama direncanakan dipindahkan ke lokasi baru, di Gombara-Bulurokeng, yang merupakan tanah hibah dari Bupati Maros kala itu. Namun, masalah dana dan pembina kembali menjadi kendala. Alhasil, pendidikan Kader Ulama tersebut tidak jadi dipindahkan sampai akhirnya terhenti dengan sendirinya, setelah menamatkan 27 orang ulama muda Muhammadiyah. Penyebab terhentinya pendidikan kader ulama tersebut adalah terjadinya apa yang dikenal dengan peristiwa “Penggajangan Lotto”. Lotto adalah nama salah satu bentuk perjudian di masa Walikota Makassar, Muhammad Daeng Patompo, pertengahan tahun 1960-an.
Sebagian peserta Pendidikan Kader Ulama Muhammadiyah yang berjumlah 27 orang, terlibat dan menjadi pelopor pengganyangan Lotto pada tahun 1968. Tindakan tersebut dianggap tindakan kriminal, mereka pun diburu dan ditangkapi. Ada yang berhasil dijebloskan ke dalam penjara, ada pula sempat meloloskan diri ke luar daerah.
Salah seorang yang berhasil melarikan diri adalah Mukhsin Kahar. Ia lari ke Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Di sana, ia mengganti nama menjadi Abdullah Said. Sebagai mubalig yang memiliki pengetahuan agama yang luas, dia disenangi masyarakat dan diterima pemerintah. Di Balikpapan, Abdullah Said berhasil mendirikan Pondok Pesantren Hidayatullah di atas tanah perbukitan yang gersang. Keberhasilannya menghijaukan lokasi Pesantren tersebut, mendapatkan penghargaan Kalpataru dari Presiden Soeharto. Setelah pesantren Hidayatullah berhasil membuka cabang di beberapa daerah, Mukhsin Kahar alias Abdullah Said mendirikan organisasi sosial keagamaan yang diberi nama Hidayatullah.
Meski ada pula peserta Pendidikan Kader Ulama yang tidak ikut dalam pengganyangan Lotto, namun mereka tak lagi melanjutkan pendidikannya. Akhirnya, tamatlah riwayat Pendidikan Kader Ulama yang didirikan, dipimpin, dan dibina oleh KH. Abdul Djabbar Ashiry.
Para Pembina lainnya, yakni: DR. S. Majidi, Kiai Haji Marzuki Hasan dan Kiai Haji Fathul Muin Daeng Maggading yang secara bersama-sama dengan Kiai Haji Abdul Djabbar Ashiry disebut “Imam Empat”, masing-masing membina pengajian atau pesantren di tempatnya. Dr. S. Majidi membina pengajian di rumahnya, dengan nama pangajian “Orang Baik-Baik”. Pada tahun 1970-an, atas permintaan dari kader-kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Dr. S. Majidi membuka lagi pengajian di Jalan Bandang, Samping Masjid Raya, yang pernah ditempati Pendidikan Kader Ulama yang sudah mati.
Pembina lainnya, Kiai Haji Fathul Muin Daeng Ma’gading, kembali fokus membina pengajiannya di Ta’mirul Masajid. Pengajiannya berlangsung hingga ia meninggal dunia pada tahun 1985. Murid-murid angkatan terakhir yang dibinanya sebelum wafat, itulah yang menjadi cikal bakal pendiri Wahdah Islamiyah. Menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Solo, Kiai Haji Fathul Muin Daeng Ma’gading mempermaklumkan kepada murid-murid dan masyarakat secara umum bahwa jika dalam muktamarnya, Muhammadiyah menerima asas tunggal yang diharuskan oleh pemerintah Orde Baru, maka dirinya keluar dari Persyarikatan Muhammadiyah. Beberapa hari sebelum pemberangkatan ke Muktamar, Kiai Haji Fathul Muin Daeng Ma’gading wafat. Muktamar Muhammadiyah pun memutuskan menerima Pancasila sebagai azas organisasinya. Setelah Fathul Muin wafat, dan Muhammadiyah berubah azas, murid-murid Fathul Muin Daeng Ma’gading mendirikan Yayasan Fathul Muin. Yayasan tersebut kegiatannya sama dengan Muhammadiyah, melakukan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, dan membina amal usaha. Yayasan inilah yang dikonversi menjadi organisasi sosial keagamaan Wahdah Islamiyah pada tahun 1998.
Tidak jauh beda dengan kolega “Imam Empat” lainnya, KH. Marzuki Hasan mendirikan pesantren “Darul Istiqamah”Maccopa Maros. Pesantren yang didirikannya itu juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Lokasi pesantrennya di Maccopa terus diperluas, dan saat ini sudah menjadi perkampungan yang dihuni oleh ribuan santri dan warga. Cabang-cabang pesantren ini pun telah pula berdiri di beberapa daerah, bahkan sampai di luar Sulawesi Selatan.***
*) Dikutip dari Buku “Menapak Jejak, Menata Langkah: Sejarah Gerakan dan Biografi Ketua-ketua Muhammadiyah Sulawesi Selatan”, diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah dan Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Sulsel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar